13 research outputs found

    Growth in Nursery and Grow-out Phases of White Shrimp After Immersed in Recombinant Giant Grouper Growth Hormone

    Full text link
    The growth of white shrimp (Litopenaeus vannamei) can be improved by using recombinant fish growth hormone through immersion. This research was performed to evaluate the white shrimp growth at nursery and grow-out phases after recombinant giant grouper growth hormone (rElGH) immersion. Shrimp were immersed at different stages in one liter seawater containing 15 mg rElGH for two hours. At the nursery stage 30,000 PL4 that previously immersed at nauplius stage (treatment A1), at PL4 (treatment B1) and control without rElGH immersion (K1) were reared in fiber tanks containing 750 L seawater for 8 days. At the grow-out phase, 100 PL11 that have been immersed in rElGH solution at nauplius stage (treatment A2), at PL4 (B2), PL11 (C2) and control without rElGH immersion (K2) were separately reared in fiber tanks containing 750 L seawater for 55 days. Each treatment consisted of three replications. The results showed that at the end of the nursery phase, B1 treatment increased 19% of body length, 30.2% of the body weight and decreased the coefficient of length variation 34.9% compared to control K1 (P<0.05). At the grow-out phase, C2 treatment enhanced 38.2% of body weight and 32% of biomass compared with control K2 (P<0.05). Thus, hatchery is better to immerse PL4, and the farmer should used rElGH-immersed PL11 for growing-out

    Tingkah Laku Memijah, Potensi Reproduksi Ikan Betina, dan Optimasi Teknik Pemijahan Ikan Pelangi Iriatherina Werneri Meinken, 1974 [Spawning Behavior, Female Reproductive Potential And Breeding Technique Optimize Of Threadfin Rainbowfish...............

    Full text link
    Informasi reproduksi ikan pelangi Iriatherina werneri pada wadah terkontrol masih sedikit diketahui. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai tingkah laku memijah, potensi reproduksi ikan betina berdasarkan perbedaan pakan (buatan dan alami), dan optimasi teknik pemijahan. Kajian optimasi pemijahan meliputi pengamatan pengaruh perbedaan sistem pemijahan (massal atau individual), perbedaan rasio kelamin pemijahan jantan : betina (1:1, 1:2, dan 1:3), serta perbedaan ukuran betina (kecil, sedang, dan besar) untuk mendukung kegiatan budi daya. Hasil penelitian menunjukkan bah-wa pemijahan ikan pelangi terjadi pada 13-15 jam sejak pemasangan ikan jantan dan betina yang diawali oleh gerakan ikan jantan mengembangkan dan menguncupkan sirip. Telur yang dikeluarkan pada pemijahan massal berakhir dua jam lebih cepat dibandingkan pemijahan individual dan telur lebih serempak dikeluarkan pagi hari (94,92%). Ikan pelangi merupakan pemijah bertahap yang mampu memijah setiap hari selama 30 hari. Potensi jumlah telur dan larva yang di-hasilkan seekor betina dapat ditingkatkan masing-masing sebanyak empat kali lipat dan 14 kali lipat melalui pemberian pakan alami. Optimasi teknik pemijahan I. werneri dicapai dengan menggunakan sistem massal dengan rasio kelamin 1: 3 dan menggunakan ikan betina berukuran 26,98-35,76 mm

    Ikan Pelangi Iriatherina Werneri (Meiken, 1974) dengan Hormon Estradiol-17β

    Full text link
    Pembetinaan ikan pelangi (Iriatherina werneri) adalah langkah awal untuk mendapatkan individu betina fungsional (XY). Jika individu betina fungsional ini dikawinkan dengan jantan normal (XY) akan menghasilkan individu ikan jantan super (YY). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi optimum dosis dan lama perendaman yang berbeda untuk pembetinaan ikan pelangi dengan menggunakan hormon estradiol-17β yang dirancang menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial yang terdiri atas faktor dosis dan lama perendaman masing-masing diulang tiga kali kemudian data dianalisis secara statistik (ANOVA). Telur ikan pelangi stadia embrio bintik mata direndam dalam larutan estradiol-17β dosis 0, 200, 400 dan 600 μg L-1 selama 6, 12, dan 18 jam, kemudian larva dipelihara selama 70 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan estradiol-17β dapat meningkatkan persentase betina; dosis 400 dan 600 μg L-1 selama 6 dan 12 jam meningkatkan persentase betina secara nyata (p0,05)

    Kloning Promoter P-actin Ikan Mas, Cyprinus Carpio Lin. 1758 Dan Analisis Fungsionalnya Menggunakan Gen Target Protein Pendaran Hijau (GFP) [P-actin Promoter Cloning of Common Carp, Cyprinus Carpio Lin. 1758 and Its Functional Analysis Using Targeted Green Fluorescent Protein (GFP) Gene]

    Full text link
    Promoter dalam vektor ekspresi berperan penting dalam mengatur ekspresi gen pada ikan transgenik. Dalam transgenesis ikan, peneliti yakin bahwa penggunaan vektor ekspresi semua ikan aman dan prospektif. Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi promoter P-aktin, promoter yang memiliki karakteristik ubiquitous, constitutive, house keeping, dari ikan mas sebagai langkah awal untuk mengkonstruksi vektor ekspresi semua ikan mas. Promoter P-aktin ikan mas (ccBA) diisolasi menggunakan metode PCR dengan primer FBP1, RBP1, dan RBP2. Sequensing dilakukan dengan menggunakan mesin ABI PRISM 3100, dan analisis sekuen dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak GENE-TYX versi 7. Hasil analisis sekuen menunjukkan bahwa panjang fragmen DNA yang diperoleh adalah sekitar 1,5 kb. Hasil homologi dengan sekuen promoter P-aktin dari pangkalan data bank gen (No. Aksesi: M24113) adalah sebesar 97,5%. Faktor transkripsi yang tetap secara evolusioner untuk promoter P-aktin promoter termasuk CCAT, CArG, dan boks TATA ditemukan dalam sekuen. Ubiquitous dan ekspresi tertinggi protein pendaran hijau (GFP) dikendalikan oleh promoter ccBA dalam otot larva ikan mas yang dideteksi. Dengan demikian, kemungkinan besar bahwa sekuen yang terisolasi adalah promoter P-aktin ikan mas

    Keragaman Genotipe dan Morfometrik Ikan Tengadak Barbonymus Schwanenfeldii (Bleeker 1854) Asal Sumatera, Jawa, dan Kalimantan

    Full text link
    Studi keragaman genotipe dan fenotipe populasi awal ikan tengadak (Barbonymus schwanenfeldii) asal Sumatera, Jawa, dan Kalimantan merupakan upaya pemanfaatan sumber daya genetik ikan tengadak untuk kegiatan budi daya secara berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi keragaman genotipe dan fenotipe ikan tengadak asal Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Analisis keragaman genotipe dilakukan secara molekuler dengan metode Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) menggunakan primer OPA 08, OPA 09 dan OPC 02 sedangkan keragaman fenotipe dilakukan berdasarkan pengukuran truss morphometric. Hasil penelitian menunjukkan polimorfisme genetik tertinggi (40%) ditemukan pada ikan jantan populasi asal Jawa dan ikan betina asal Kalimantan dengan nilai heterozi- gositas tertinggi 0,18 sedangkan polimorfisme terendah (18%) ditemukan pada ikan betina populasi asal Jawa dengan tingkat heterozigositas 0,08. Jarak genetik ketiga populasi berkisar 0,48-0,55 sedangkan antara ikan jantan dan betina berki-sar 0,19-0,24. Hasil analisis fungsi kanonikal truss morfometrik ikan tengadak pada 21 karakter terukur menun- jukkan sebaran pengukuran ketiga populasi berada pada kuadran yang berbeda. Persentase indeks keseragaman intra- populasi menunjukkan indeks keseragaman genetik tertinggi pada populasi Jawa (66,7-86,7 %) dengan indeks kesera- gaman interpopulasi (0-6%) pada populasi Kalimantan dan (0%) pada populasi Sumatera. Berdasarkan data keragaman genotipe dan fenotipe ikan jantan asal Jawa dan ikan betina asal Kalimantan berpotensi sebagai sumber genetik donor untuk pengembangan budidaya ikan tengadak

    STUDI KROMOSOM IKAN PELANGI (Melanotaenia Lacustris) [Chromosome Study of Rainbowfish (Melanotaenia Lacustris)]

    Full text link
    Penelitian sitogenetika pada ikan pelangi (Melanotaenia lacustris) difokuskan pada pengungkapan keanekaragaman kromosom dalam hal jumlah, bentuk, dan karyotipenya. Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika dan Reproduksi ikan Fakuitas Perikanan dan 11 mu Kelautan IPB, pada bulan on Mei — Deseber 2000. Preparat kromosom dibuat dengan metode jaringan padat yang menggunakan larva ikan umur 10-30 hari. Analisis kromosom dilakukan setelah pewarnaan dengan larutan Giemza. Kromosom diploid ikan M. lacustris adalah (2N = 46). Karyotipenya menunjukkan 46 kromosom yang terdiri atas 9 pasang berbentuk submetasentrik (SM) (no. 1, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 13, and 14); 3 pasang subtelosentrik (ST) (no. 4, 12, 22) dan 10 pasang telosentrik (T) (no. 2, 5, 11, 15, 16, 17, IB, 19, 20, and 21) dengan 1 ST dan 1 T pada no. 23. Dari basil tersebut diduga bahwa M, lacustris memiliki kromosom sek

    Maskulinisasi Ikan Pelangi Iriatherina Werneri Meinken, 1974 Menggunakan Hormon 17α-Metiltestosteron melalui Perendaman Embrio

    Full text link
    Individu jantan ikan pelangi Iriatherina werneri lebih digemari sebagai ikan hias dibandingkan individu betina. Ikan jantan memiliki bentuk sirip punggung kedua dan sirip anal yang panjang seperti filament dan warna tubuh yang indah. Namun permasalahannya adalah secara alami populasi ikan jantan yang dihasilkan rendah. Oleh karena itu, maskulinisasi diperlukan untuk meningkatkan jumlah populasi ikan jantan. Teknik maskulinisasi menggunakan perendaman embrio Fase bintik mata di dalam larutan hormon 17α-metiltestosteron (MT). Tujuan penelitian yaitu mengkaji persentase ikan jantan, tingkat penetasan telur, sintasan, abnormalitas dan pertumbuhan panjang total ikan pelangi melalui perendaman embrio pada dosis MT dan lama perendaman berbeda. Embrio yang digunakan pada Fase organogenesis berumur 64 jam 40 menit setelah pembuahan. Perlakuan yang digunakan yaitu dosis MT 15, 30 dan 45 mg L-1, serta lama perendaman selama 6, 12 dan 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi perlakuan MT dosis 30 mg L-1 dan lama perendaman 6 jam merupakan kombinasi perlakuan terbaik yaitu menghasilkan ikan jantan 56,67%. Kombinasi perlakuan tersebut juga menghasilkan tingkat penetasan telur, abnormalitas dan pertumbuhan panjang total ikan pelangi pada kisaran normal. Pemberian MT dosis tinggi dan pemaparannya yang lama pada embrio dapat menurunkan performa penetasan telur dan kualitas larva ikan pelangi. Bentuk abnormal terlihat pada tulang belakang bengkok dan bentuk mulut yang tidak sempurna. Kajian maskulinisasi pada ikan pelangi masih perlu dilakukan untuk memperoleh sintasan yang lebih baik
    corecore